Apakah sebagai anak wajib memberi nafkah pada orang tua?..
Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah telah membahas tentang masalah nafkah untuk kerabat. Beliau rahimahullah menyebutkan hal ini dalam kitab fikih dasar madzhab Syafi’i, Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib.
Abu Syuja’ menyatakan bahwa nafkah untuk kedua orang tua dan anak-anak itu wajib.
Nafkah anak untuk kedua orang tua dihukumi wajib ketika memenuhi dua syarat:
Miskin dan tidak kuat dalam mencari nafkah, atau
Miskin dan gila (hilang ingatan)
Nafkah seseorang pada anak-anaknya dihukumi wajib ketika memenuhi tiga syarat:
Miskin dan masih kecil (belum baligh), atau
Miskin dan belum kuat untuk bekerja, atau
Miskin dan gila (hilang ingatan)
Disebutkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dasar wajibnya nafkah untuk orang tua dan anak adalah dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepatan para ulama).
Dalil dari Al-Qur’an,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233)
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Termasuk dalam bentuk ihsan adalah menafkahi kedua orang tua ketika mereka butuh.
Adapun dalil dari hadits adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Hindun dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberikan kepadaku nafkah yang mencukupi dan tidak pula mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya, sedangkan anak itu adalah hasil usaha orang tua.” (HR. Abu Daud, no. 3528; An-Nasai dalam Al-Kubra, 4: 4. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Adapun dalil ijma’ (sepakat ulama) disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa para ulama sepakat, wajib bagi anak memberi nafkah untuk kedua orang tuanya yang fakir yaitu tidak punya pekerjaan apa-apa dan juga tidak punya harta. Begitu pula wajib bagi seseorang memberikan nafkah pada anak yang tidak punya harta. Karena anak merupakan bagian dari orang tuanya. Karenanya ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, begitu pula memberi nafkah pada anak dan orang tua (ashlu-nya). Oleh karenanya jika seorang ibu tidak lagi memiliki suami, maka ia wajib memberikan nafkah untuk anaknya. Demikian pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Dinukil dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, 11; 373.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Al-Mughni. Cetakan tahun 1432 H. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Ibnu Qasim Al-Ghazzi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
Mukhtashar Abi Syuja’. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Al-Imam Ahmad bin Al-Husain Al-Ashfahani Asy-Syafi’i. Penerbit Darul Minhaj.
Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah telah membahas tentang masalah nafkah untuk kerabat. Beliau rahimahullah menyebutkan hal ini dalam kitab fikih dasar madzhab Syafi’i, Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib.
Abu Syuja’ menyatakan bahwa nafkah untuk kedua orang tua dan anak-anak itu wajib.
Nafkah anak untuk kedua orang tua dihukumi wajib ketika memenuhi dua syarat:
Miskin dan tidak kuat dalam mencari nafkah, atau
Miskin dan gila (hilang ingatan)
Nafkah seseorang pada anak-anaknya dihukumi wajib ketika memenuhi tiga syarat:
Miskin dan masih kecil (belum baligh), atau
Miskin dan belum kuat untuk bekerja, atau
Miskin dan gila (hilang ingatan)
Disebutkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dasar wajibnya nafkah untuk orang tua dan anak adalah dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepatan para ulama).
Dalil dari Al-Qur’an,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233)
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Termasuk dalam bentuk ihsan adalah menafkahi kedua orang tua ketika mereka butuh.
Adapun dalil dari hadits adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Hindun dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberikan kepadaku nafkah yang mencukupi dan tidak pula mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya, sedangkan anak itu adalah hasil usaha orang tua.” (HR. Abu Daud, no. 3528; An-Nasai dalam Al-Kubra, 4: 4. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Adapun dalil ijma’ (sepakat ulama) disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa para ulama sepakat, wajib bagi anak memberi nafkah untuk kedua orang tuanya yang fakir yaitu tidak punya pekerjaan apa-apa dan juga tidak punya harta. Begitu pula wajib bagi seseorang memberikan nafkah pada anak yang tidak punya harta. Karena anak merupakan bagian dari orang tuanya. Karenanya ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, begitu pula memberi nafkah pada anak dan orang tua (ashlu-nya). Oleh karenanya jika seorang ibu tidak lagi memiliki suami, maka ia wajib memberikan nafkah untuk anaknya. Demikian pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Dinukil dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, 11; 373.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Al-Mughni. Cetakan tahun 1432 H. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Ibnu Qasim Al-Ghazzi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
Mukhtashar Abi Syuja’. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Al-Imam Ahmad bin Al-Husain Al-Ashfahani Asy-Syafi’i. Penerbit Darul Minhaj.
0 Response to "Menafkahi Orang Tua yang Tidak Mampu?.."
Posting Komentar